Monday, October 11, 2010

Refleksi 10-10-10 “dari pemodal, untuk pemodal, dan oleh pemodal.”

Kecenderungan situasi nasional mulai mengkhawatirkan bagi Pemerintahan SBY di triwulan akhir tahun macan 2010 ini. Perekonomian rakyat terancam oleh gagal panen akibat iklim buruk, terjadi hampir di seluruh bagian dunia. Setgab Koalisi, yang seharusnya menjadi penyeimbang politik paska kisurh Skandal Century, ternyata tidak mampu mengendalikan situasi terorisme- yang pelakunya masih menjadi tanda Tanya yang besar: benarkah telah terjadi perbenturan TNI dengan POLRI dalam skala tertentu?

Bukan kapasitas orang sipil seperti saya untuk menjawabnya, terlalu sensitif. Sementara haluan pemerintahan SBY yang masih sangat abu-abu telah membingungkan banyak elit, baik sipil maupun militer. Inilah kemudian yang salah satunya mengemuka dalam opini Kolonel Adji Suradjie di Kompas 8 September 2010 dan juga dalam acara Halal Bihalal di kediaman DR. Rizal Ramli yang sanggup mengkonsolidasikan spektrum luas dari elit dan aktivis pro demokrasi. Sebagian oposisi dan sebagiannya “oporsisi” (baca: bermain dua kaki). Tuntutannya adalah seragam:” SBY akan jatuh pada tanggal 10 bulan 10 tahun 2010”- kutukan Adhie Massardi dalam setiap kesempatan.

Jika tidak didorong, SBY tidak akan jatuh. Kita akan turunkan SBY kali ini, tidak lagi sekedar “hentikan” (slogan yang dipopulerkan PRD pada 20 Oktober 2009). Demonstrasi di jalanan tidaklah cukup, yang lebih penting adalah pemanasan di kampus-kampus untuk menyeret mahasiswa yang kritis sampai revolusioner. Baru kemudian gerakan menjalar ke kampung-kampung dan pabrik-pabrik, mahasiswa yang akan mengolah politik pengorganisirannya. JIka langkah ini intens dikerjakan selama 6 bulan, kontinuitas tinggi, masifisasi penggalangan dilakukan di akar rumput, niscaya akan menjadi kenyataan: tumpahnya 100 ribu massa rakyat di halaman istana negara. Menyatukan tuntutan, menyamakan tuntunan bagi rakyat dan mahasiswa. Kali ini sasarannya adalah demokrasi.

Kenapa demokrasi? Karena demokrasi kita semenjak 1998 hingga saat ini adalah demokrasunya kaum borjua. Terbentuknya setgab koalisi terang membuktikan bahwa demokrasi di Indonesia adalah palsu, bukan dari rakyat untuk rakyat oleh rakyat- seperti ucap negarawan masa lalu AS, melainkan demokrasi yang bermakna “dari pemodal, untuk pemodal, dan oleh pemodal.” Lalu kemudian kita akan dibenturkan dengan pertanyaan, “bukankah pemodal atau pengusaha juga manusia?!” Kita bukan bicara soal berapa banyak kekayaan anda (pengusaha), melainkan soal keadilan dalam demokrasi. Kita kemudian akan menyerang, jika nilai suara kita sama saat memilih, kenapa nilai modal kampanye kita berbeda saat “dipilih”? Modal anda sekian, sedangkan aku cuma “seuprit”.

Demokrasi sejati adalah demokrasi yang egaliter. Kemampuan politik partisan adalah penilaian utama, bukan berapa modal yang dia punya. Karena itu negara harus membiayai demokrasi ini dengan adil. Semisal dengan menggratiskan kampanye TV nasional dan swasta selama durasi tertentu bagi si partisan demokrasi.  Anggaran untuk setiap partai hanya dibedakan berdasar jumlah KTA, politisi tidak boleh mengumpulkan modal dari pengusaha- negara akan sangat mengawasi. Kampanye liar, di luar yang diselenggarakan negara, dilarang keras.

Untuk menuju kearah tersebut, tentu demokrasi harus ditata ulang. Reformasi dituntaskan, keluar kembali dekrit: parlemen lama dibubarkan, amandemen UUD dihapuskan untuk kembali ke UUD 1945. Sepanjang masa transisi ini pemerintahan akan diselenggarakan oleh Presidium Nasional, yang tugasnya adalah membentuk majelis konstituante (terdiri dari politisi, aktivis, mahasiswa, militer, polisi, budayawan, feminis, dan enviromentalis) demi membuat UUD yang baru pengganti UUD 1945 (yang walau anti nekolim, namun masih terlalu ringkas) dan memastikan pemilu ulang dengan system demokrasi yang sejati dilaksanakan dalam 6 bulan ke depan.

No comments:

Post a Comment