Monday, October 11, 2010

Imperialisme Dibalik Undang-Undang

Pernyataan Eva Kusuma Sundari, politisi dari PDIP dan juga mantan aktivis GMNI, bahwa adanya 76 produk  undang-undang yang draftnya disusun oleh pihak asing, mengundang polemik tersendiri.

Dalam pemaparannya yang  berbasiskan informasi dari Badan Intelijen Negara (BIN) itu, Eva menyatakan ada keterlibatan tiga lembaga asing (Bank Dunia, IMF dan USAID) dalam proses penyusunan 76 undang-undang yang diajukan pihak pemerintah selama 12 tahun era reformasi. Puluhan undang-undang tersebut merupakan regulasi yang meliputi berbagai macam sektor, seperti perbankan, pendidikan, energi, kesehatan serta politik.

Beberapa undang-undang yang disinyalir merupakan pesanan pihak asing ialah UU Sumber Daya Air No.7 tahun 2004, UU Kelistrikan No.20 tahun 2002, UU Pendidikan Nasional No.20 tahun  2003, UU Migas No.22 tahun 2001, UU BUMN No.19 tahun 2003, UU Penanaman Modal No.25 tahun 2007 serta UU Pemilu No.10 tahun 2008. Dan yang terpenting untuk dicatat adalah hampir semua produk undang-undang yang diback-up oleh pihak asing tersebut sangat kental bernuansa liberalisasi.

Eva juga mengungkapkan bahwa membuka pasar bebas, menghilangkan proteksi, free competitions dan membuat standarisasi yang membebani petani dan rakyat kecil adalah syarat-syarat yang diajukan Bank Dunia, IMF dan USAID dalam proses legislasi. Bila ditelaah, semua persyaratan tersebut tidak lain adalah manifestasi dari resep-resep ekonomi yang termaktub dalam Washington Consensuss atau yang populer dengan istilah neo-liberalisme. Intinya adalah penguasaan ekonomi nasional oleh aktor-aktor trans nasional seperti Multi-national Corporation serta negara-negara yang lebih superior perekonomiannya.

Instrumen Imperialisme

Bagi sebagian kalangan, hal yang diungkapkan Eva mungkin agak mengejutkan, namun tidak demikian halnya bagi mereka yang telah ‘berteriak’ sekian lama tentang kepentingan asing dibalik berbagai produk undang-undang tersebut. Undang-undang menjadi salah satu instrumen asing untuk membuka ruang seluas-luasnya bagi pengerukan sebesar-besarnya kekayaan alam negeri ini. Hal tersebut telah dipersoalkan banyak pihak yang pro-kemandirian bangsa sejak lama. Bahkan intervensi asing dalam proses legislasi juga terlihat dalam proses amandemen UUD 1945, yang kemudian melahirkan “UUD 2002”.

Lembaga-lembaga semacam USAID dan UNDP turut membiayai proses amandemen yang juga merubah pasal 33 UUD 1945 (yang sebenarnya berwatak sosialis) menjadi ramah pada liberalisasi. Semenjak itulah regulasi-regulasi sektor ekonomi yang bernuansa liberal makin masif diproduksi oleh pemerintah dan parlemen.

Intervensi asing melalui undang-undang juga merupakan  ‘modus’ penjajahan baru atau yang diistilahkan oleh Bung Karno sebagai imperialisme modern. Bila dalam imperialisme kuno penguasaan suatu  negara dilakukan melalui proses agresi dan invasi militer, tidak demikian halnya dalam imperialisme modern. Sang ‘ imperialis’ cukup mengintervensi kebijakan suatu negeri untuk dapat menggapai tujuannya menguasai perekonomian negeri tersebut. Dan yang paling penting adalah harus ada ‘keramahan’ dari  negara tujuan kolonialisasi dalam  menyambut “uluran tangan” sang  imperialis.

Realitasnya, penguasa negeri ini dari era Soeharto (1967) hingga kini sangat ramah melayani kepentingan asing. 76 undang-undang yang disebut Eva Sundari sebagai pesanan asing hanyalah salah satu bukti dari sekian banyak bukti keramahan para pengambil kebijakan di negeri ini kepada imperialisme. Alih-alih menjaga kekayaan alam Indonesia dari penjarahan imperialisme, para penguasa negeri malah lebih asyik berperan layaknya para komprador yang menjadi kepanjangan tangan imperialis seperti yang diidentifikasi John Perkins dalam bukunya, Economic Hit Man.

Kesimpulannya, pengungkapan Eva Sundari mengenai kepentingan asing dibalik berbagai produk undang-undang hanyalah sebuah penegasan bahwa negeri ini tengah berada dibawah dominasi imperialis dalam berbagai sektor, utamanya ekonomi. Lalu bagaimana caranya agar bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka 100% ?

Perubahan haluan ekonomi mutlak perlu dilakukan. Untuk itu, perlu suatu gerakan untuk mendekritkan kembali ke UUD 1945 yang asli sebagai titik awal menuju pada perubahan haluan ekonomi, dari haluan pro-imperialisme menuju haluan ekonomi yang pro-kemandirian bangsa. Bila UUD 2002 telah dibatalkan, maka seluruh produk perundang-undangan yang berdiri diatasnya (terutama yang berhaluan liberal) secara otomatis juga akan batal demi hukum.

Hal ini penting dilakukan untuk mencegah terealisasinya “mimpi buruk” Bung Karno, bahwa bangsa ini akan menjadi nations of coolis and coolis among nations bila terus terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan yang disebabkan penjajahan gaya baru.

No comments:

Post a Comment